MORALITAS
KORUPTOR
Korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Komisi
Pemberantasan Korupsi berulang kali menetapkan tersangka perkara korupsi yang
terjadi di Indonesia. Sejumlah tersangka memiliki latar belakang pendidikan
tinggi, seperti lulusan S3 atau bahkan Guru Besar. Menurut Juru Bicara KPK
Johan Budi SP, moralitas seseorang tidak bergantung gelar pendidikan. “Jadi
enggak ada hubungannya. Ya bagaimana moral dia, bukan soal gelar profesor,”
kata dia di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/8) sore. Pernyataan itu menanggapi
operasi tangkap tangan yang dilakukan terhadap Rudi Rubiandini. Rudi sendiri
diketahui sebagai Guru Besar di Institut Teknologi Bandung dan sempat menjadi
dosen terbaik di civitas akademia ITB. Dalam memeriksa sebuah kasus, KPK tak
terpengaruh latar belakang pendidikan atau hal lain yang ada pada diri
seseorang. Sebaliknya, jika KPK menemukan alat bukti cukup, seseorang harus
jadi tersangka. “KPK tak melihat profesor harus selalu baik,” jelas Johan.
Johan menegaskan KPK tak akan memberi rekomendasi pencabutan gelar akademis
yang dimiliki seorang tersangka. “Kami tidak bermain di wilayah itu. Tapi, dia
bawa beban berat karena melakukan hal yang mencederai nilai integritas.” Untuk
diketahui, Rudi Rubiandini adalah salah satu guru besar yang masuk pusara
perkara korupsi. Sebelumnya, KPK sudah menjerat Nazaruddin Syamsuddin, Miranda
Swaray Goeltom, Rokhmin Dahuri, serta Tafsir Nurchamid yang juga berlatar
belakang pendidikan tinggi.
MORALITAS
OBYEKTIF
Moralitas
obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah
tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi
dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi. Moralitas seperti ini hadir
dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang
berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah
diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja
dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka
tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat
undang-undang antikorupsi. Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini
mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang
koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan
korupsi.
MORALITAS
SUBYEKTIF
Moralitas
subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari
manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai
dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini
harus ditaati. Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma
subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa
mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa,
ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar
jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan
bebas. Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan
karena hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru
sanksi dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika
hukuman obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun
dan setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang
dijatuhkan nurani manusia!
KORUPSI?
Korupsi
adalah penyakit bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral! Moral
yang mana? Kedua-duanya: moralitas obyektif dan sekaligus subyektif.
Pemberantasan korupsi dengan demikian juga memasuki kedua ranah tersebut.
Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan
hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam
peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia). Di satu sisi, penegakan moralitas
obyektif adalah soal penegakan aturan main dalam hidup bernegara, ketegasan
pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap para koruptor, dan pembenahan sistem
peradilan yang semakin adil. Di sisi lain, penegakkan moralitas subyektif
adalah soal pembenahan mentalitas aparatur negara, pembenahan hidup kemanusiaan
sebagai mahkluk yang berakal budi, dan penajaman hati nurani. Penekanan kepaada
salah satu moralitas saja sudah cukup baik, tetapi belum cukup. Pemberlakuan
hukum yang berat terhadap para koruptor itu baik, tetapi belum cukup. Mengapa?
Karena dengan demikian orang hanya dididik untuk takut menjadi koruptor. Ia
takut melakukan korupsi hanya karena takut akan hukuman mati, padahal yang
seharusnya muncul adalah kesadaran untuk menghindarinya karena korupsi itu
tindakan yang buruk (bukan hanya soal takut)! Pendidikan hati nurani (misalnya
dilakukan dengan: mengikuti anjuran agama dan berlaku saleh) itu juga baik,
tetapi juga belum cukup! Mengapa? Karena dalam hidup bersama tetap diperlukan
hukum yang tegas bagi tercapainya kebaikan bersama.
Sebagai
warga bangsa, manusia Indonesia seharusnya sadar bahwa korupsi adalah masalah
bersama yang membawa negara ini kepada keburukan dan keterpurukan. Sudah
saatnya dibuat hukum yang tegas untuk mengembalikan bangsa ini kepada jalurnya
yang benar, dan tak ketinggalan pula: pendidikan hati nurani demi tajamnya
mentalitas bernegara. Pendidikan hati nurani dalam hal ini tidak bisa
disempitkan melulu kepada beribadah dan kembali kepada agama saja (karena semua
orang Indonesia ternyata beragama, dan pada saat itu juga menjadi negara
terkorup pula!). Pendidikan hati nurani sebenarnya adalah persoalan
pengembalian manusia kepada kodratnya yang mengedepankan peran akal budi. Akal
budi inilah yang memampukan setiap manusia untuk mengarahkan diri kepada
pencapaian kebaikan. Korupsi adalah pembalikan dari kebaikan, maka dengan tegas
harus ditolak! Korupsi juga adalah pengingkaran kodrat manusia yang
bermartabat, maka dengan tegas pula harus diberantas!
Moral
pejabat negara telah berada pada titik nadir yang membahayakan !!
DEMOKRASI
yang kita bangga-banggakan selama ini, pada satu sisi tidak membawa dampak
menggembirakan bagi bangsa. Reformasi politik, diakui atau tidak, telah
menciptakan demokrasi secara langsung, kebebasan berpendapat, dan
desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Tetapi siapa nyana ternyata
moral pejabat telah berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Utama (PBNU), KH Said Aqil Siroj di Jakarta, Jumat
(11/10) mengatakan, banyaknya kasus korupsi belakangan ini menunjukkan
moralitas pejabat kita sudah merosot.
“Apa
artinya demokrasi kalau para pejabatnya korup dan rakyat tidak percaya lagi
pada penegak hukum? Untuk membangun kembali kewibawaan hokum, kita perlu gerakan
reformasi total termasuk reformasi moral,” katanya.
Dia
menambahkan, bangsa ini juga memerlukan nilai kejujuran, kebenaran, dan
kesungguhan. Said Aqil Siroj berpendapat, reformasi hukum terutama
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih tersendat. Jika mau
jujur mengatakan demokrasi yang kita bangun pasca-Orde Reformasi malah
melahirkan sejumlah persoalan yang membuat kita prihatin. Salah satu wujud
demokrasi yang sering kita puji adalah desentralisasi kekuasaan melalui otonomi
daerah. Kepala daerah dipilih langsung. Namun, siapa sangka dalam perjalanan
pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung malah melahirkan banyak sengketa.
Akhirnya, bisa ditebak kemudian munculnya sengketa pilkada yang dibawa ke
Mahkamah Konstitusi (MK) memunculkan peluang korupsi. Kasus ditangkapnya Ketua
MK, Akil Mochtar, di rumah dinasnya pada 3 Oktober 2013 karena diduga telah
menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah,
menjadi contoh paling anyar. Namun, lepas dari kasus tersebut, bisa ditarik
kesimpulan bahwa moral pejabat negara telah berada pada titik nadir yang
membahayakan. Kita mencatat sebelum mencuatnya kasus Akil Mochtar juga terdapat
pejabat negara (termasuk tokoh partai politik dan pejabat tinggi di Polri),
masuk dalam deretan pejabat yang bermoral buruk.
Masyarakat
masih ingat pada Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu.
Lalu, ada pula Mantan Menpora Andi Mallarangeng yang Jumat (11/10) gagal
ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua tokoh ini terlibat dalam
kasus proyek Hambalang, Bogor. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi
Hasan Ishaaq, juga menggemparkan para kader partai Islam ini. Betapa tidak
mengejutkan, Luthfi bersama Ahmad Fathanah didakwa menerima hadiah atau janji
berupa uang Rp 1,3 miliar, bagian dari total imbalan Rp 40 miliar yang
dijanjikan Dirut PT Indoguna Utama terkait pengurusan persetujuan penambahan
kuota impor daging sapi. Kasus lainnya terjadi pada Kepala SKK Migas Rudi
Rubiandini dan mantan Kepala Korps Lantas Polri Irjen Djoko Susilo. Irjen Djoko
telah divonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 10 tahun penjara
dan denda Rp 500 juta. Semua hartanya terancam disita Negara. Melihat
serangkaian kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara termasuk tokoh partai
politik dan kalangan akademikus itu, benar adanya moral pejabat di negeri ini
sudah merosot bukan kepalang. Meski mereka sudah menduduki jabatan tinggi dan
bergaji besar, tetapi masih bernapsu memperbanyak harta dengan cara tidak
halal. Kondisi ini menggambarkan krisis moral benar-benar melanda negeri ini.
Herannya lagi, dalam kesehariannya para koruptor tersebut aktif menjalankan
ritual keagamaan, namun hatinya dekat dengan tindakan korupsi. Perbuatan
korupsi terus dilakukan dengan sadar. Tepat seperti yang dikemukakan Ketua
PBNU, KH Said Aqil Siroj, sudah saatnya bangsa ini memerlukan reformasi moral,
nilai kejujuran, kebenaran, dan kesungguhan. Tentunya ini menjadi tugas para
pemuka agama untuk selalu mengingatkan melalui pesan-pesan moral. Langkah itu
juga harus dibarengi dengan penegakan hukuman yang berat bagi para pejabat
negara yang terbukti korupsi. Reformasi hokum, terutama pemberantasan KKN,
sudah harus menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
CONTOH
KASUS KORUPSI !!
1.
KPK Beri Isyarat Ratu Atut Terseret Kasus Korupsi.
Wakil
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas memberi sinyal
terseretnya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam kasus dugaan korupsi.
Meskipun tak menyebut secara gamblang kasus yang dimaksud, tapi menurut Busyro,
Atut bisa jadi merupakan kepala daerah yang bisa diminta pertanggungjawaban.
“Ya,
benar begitu, seperti Tangerang Selatan,” kata Busyro di gedung kantornya,
Senin, 18 November 2013. Sebelum bicara soal Atut, Busyro terlebih dahulu
bicara soal adik ipar Atut yang juga Wali Kota Tangerang Selatan dalam kasus
dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Kota Tangsel.
(Baca: Pelapor Dugaan Korupsi Atut Pernah Mau Dibunuh)
Menurut
Busyro, saat ini dalam kasus alkes Tangsel, penyelenggara negara yang
ditetapkan sebagai tersangka baru pada tingkat pejabat pembuat komitmen. “Cara
kerja KPK, semua dimulai dari bawah, minggir-minggir-minggir, langsung nabrak
ke atas,” kata Busyro. Busyro memberi contoh, dalam kasus dugaan korupsi PON
Riau, Gubernur Riau Rusli Zainal bukan orang yang pertama ditetapkan menjadi
tersangka. Dalam kasus travel cheque, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
Miranda Goeltom kena belakangan. “Itu memang karakter kerja KPK. Tunggu saja,
kami sedang mengumpulkan bukti,” kata dia.
Terhitung
11 November 2013, KPK menetapkan tiga orang dalam kasus alkes Tangsel.
Ketiganya adalah pejabat pembuat komitmen Mamak Jamaksari, petinggi PT Mikkindo
Adiguna Pratama Dadang Prijatna, dan Chaeri Wardana alias Wawan, yang merupakan
suami Airin.
2.
Ini alasan KPK panggil Dirut Pertamina di kasus suap SKK Migas
Wakil
Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan pihaknya memang tengah mendalami peran PT
Pertamina dalam kasus dugaan suap di lingkungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Setelah beberapa waktu lalu KPK
memanggil Direktur Utama Karen G Agustiawan untuk diperiksa sebagai saksi.
“Jadi
memang kami mempelajari keterlibatan Pertamina dalam penjualan, pelelangan,
tender di SKK Migas,” ujar Busyro, di KPK, Senin (18/11) malam.
Menurut
Busyro, nama Karen muncul setelah pemeriksaan sejumlah saksi dan tersangka.
Dalam pengembangannya, Karen baru disebut-sebut belakangan ini dari keterangan
dan pemeriksaan kasus ini.
“Dia
kan muncul dalam perkembangan,” imbuhnya.
Namun,
Busyro belum berani memastikan apakah Karen akan menjadi tersangka berikutnya.
Karena Karen masih baru menjalani pemeriksaan sebagai saksi dan dua kali
dipanggil KPK.
“Karen
ini kan baru diperiksa kemarin,” jelasnya.
Dalam
dakwaan Simon Gunawan Tanjaya terungkap, 28 Mei 2013 PT Pertamina mengikuti
rapat bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas dan SKK Migas. Rapat itu
disimpulkan, Kondensat Senipah bagian negara dengan volume 300 ribu barel tidak
dapat diolah Kilang Pertamina. Sebab, adanya keterbatasan penyerapan kilang
atas volume Kondensat Senipah yang tersedia. Oleh karena itu, untuk
memaksimalkan pendapatan negara, maka rapat memutuskan dilakukan lelang
terhadap Kondensat Senipah itu. Hal itu dilakukan untuk mendapat penawaran
terbaik. Dalam dakwaan Simon juga terungkap Kernel Oil menyuap buat mendapat
jatah Kondensat Senipah. PT Pertamina juga diketahui pernah bekerja sama dengan
PT Parna Raya Group dalam pengadaan BBM bersubsidi untuk nelayan. Komisaris PT
Parna Raya Artha Meris Simbolon sendiri, saat ini pun telah dicegah KPK.
Upaya
pemerintah dalam memberantas korupsi !!
Salah
satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah
Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana
korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia
disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah
ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi
juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang
paling kecil di daerah. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam
dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui
berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk
komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN)
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif
atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal
Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa
inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan
kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan
negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis
sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan
pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga
ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama
kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang
aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan
penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW),
Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).
Sumber
:
http://www.tempo.co/read/news/2013/11/19/063530678/KPK-Beri-Isyarat-Ratu-Atut-Terseret-Kasus-Korupsi
http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-alasan-kpk-panggil-dirut-pertamina-di-kasus-suap-skk-migas.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar